Kamis, 01 Mei 2008

Heboh Soal Namru - Kompas, 29 April 2008

oleh: Kartono Mohamad

Sejak Perang Dunia I, terutama setelah Perang Dunia II, garis pertahanan Amerika Serikat tidak berada di wilayahnya sendiri, tetapi jauh dari daratan AS. Dengan demikian, musuh tidak akan dapat menjamah daratan AS. Caranya dengan membangun pangkalan-pangkalan militer dan menempatkan kekuatan militernya di wilayah-wilayah negara lain, terutama kekuatan laut dan marinir. Maka, dikenal ada Armada I (daerah Panama dulu), Armada VI (di Timur Tengah), dan Armada VII di Asia Pasifik. Karena itu, mars Marinir AS diawali dengan kalimat ”From the hall of Montezuma, to the shore of Tripoli”.

Membawa risiko
Penempatan kekuatan militer di negara-negara lain, terutama daerah tropis, membawa risiko tersendiri. Mereka akan terpapar dengan berbagai penyakit yang tidak ada di AS, yang mungkin dibawa pulang dan menyebar di AS. Untuk itu, mereka mendirikan pusat- pusat penelitian kedokteran di wilayah-wilayah itu, diberi nama Naval Medical Research Unit (Namru). Kalau tidak salah, pada awalnya ada tiga Namru. Tetapi, kini tinggal dua, yaitu Namru 1, berkedudukan di Cairo untuk mempelajari berbagai penyakit di wilayah Afrika dan Timur Tengah, dan Namru 2 terletak di Jakarta sebagai pusat penelitian mereka mencakup wilayah Indonesia, Filipina, Malaysia, Vietnam, Thailand, Kamboja, Laos, bahkan mungkin sampai Sri Lanka atau Nepal. Dalam panduan (manual) untuk perwira medis
AL-AS (US Navy Medical Officer) ada bab tentang medical intelligence. Kata intelijen memberi konotasi mata-mata. Namun, panduan itu mengatakan, para perwira kesehatan AL harus mengenali berbagai penyakit di wilayah pasukan ditempatkan. Data-data itulah yang dikumpulkan oleh Namru. Jadi, tidak ada kaitannya dengan spionase atau mata-mata.

Naif
Yang mempunyai unit penelitian kesehatan di militer bukan hanya AS. Singapura mempunyai Defence Medical Research Unit, yang melakukan penelitian berbagai penyakit yang dapat ”menyerang” penduduk Singapura serta menyusun strategi penanggulangannya jika penyakit semacam itu masuk ke Singapura. TNI juga mempunyai lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) yang di dalamnya ada unit penelitian kesehatan. Dulu litbang kesehatan TNI AL (dulu ALRI) melakukan penelitian tentang efek udara tertutup di kapal selam bagi kesehatan awak kapal serta mencari suhu optimal untuk bekerja di kapal selam. Atas keadaan itu, ungkapan Menkes Siti Fadilah yang mengatakan, ”penelitian kesehatan, kok, di bawah militer” terasa naif. Sebagai peneliti, ia seharusnya memahami, militer pun boleh melakukan penelitian di bidang kesehatan sesuai dengan kepentingan mereka. Mengingat Namru merupakan bagian AL AS, dulu mitra kerjanya yang terdekat adalah TNI AL. Penelitian yang dilakukan dalam kerja sama dengan TNI antara lain penelitian malaria di Papua yang bukan hanya dengan TNI AL (Lantamal V), melainkan juga dengan TNI AD, pada awal tahun 1990-an. Dari penelitian itu diketahui seberapa besar parasit malaria di Papua yang sudah kebal terhadap obat-obat antimalaria yang konvensional. Kalau tidak salah, hasil penelitian ini juga dilakukan bersama Litbangkes dan P2MPLP Depkes yang menghasilkan perubahan kebijakan obat antimalaria Depkes dan diagnosis cepat untuk malaria (Rapid Test). Maka, juga amat naif jika dikatakan, Namru 2 tidak bekerja sama dengan lembaga Pemerintah RI. Yang juga disayangkan adalah mengapa para pejabat Depkes yang terlibat kegiatan Namru, seperti Litbangkes dan P2MPLP, tak memberi masukan kepada Menkes sehingga beliau tidak mengambil kesimpulan terlalu cepat. Sebab, banyak kegiatan Namru lainnya yang dilakukan bersama Depkes, selain dengan berbagai perguruan tinggi.

Spionase
Cerita tentang spionase ini menarik dan penuh thrill. Bahwa Namru bisa dijadikan tameng kegiatan spionase, bisa-bisa saja. Yang aneh adalah beberapa pejabat yang dulu berkuasa di bidang intelijen baru sekarang melemparkan tuduhan atau dugaan, padahal Namru 2 sudah lebih dari 20 tahun ada di Indonesia. Menjadi pertanyaan mengapa saat mereka menjabat tidak melakukan tindakan jika memang menemukan bukti bahwa Namru 2 melakukan kegiatan spionase. Kegiatan spionase negara asing terhadap tuan rumah bukan hal baru dan dilakukan melalui berbagai cara. Tidak hanya dengan menggunakan lembaga resmi. Jepang dulu menggunakan tukang potret, penjual mainan, dan pedagang kecil untuk memata-matai Belanda di Indonesia. Bahkan, kini menggunakan teknologi canggih, seperti satelit dan lainnya. Bukan tidak mungkin Israel mempunyai spion di Indonesia. Pejabat intelijen Indonesia tentu mafhum dengan berbagai cara spionase itu. Menjadi tugas lembaga kontra spionase Indonesia untuk melakukan tindakan jika diketahui ada spion asing memata-matai Indonesia. Bukan hanya berbicara setelah lepas dari jabatan itu. Mungkin ada baiknya, secara terbuka para pejabat tinggi negara berkomunikasi dengan Namru 2, menanyakan hasil penelitiannya, apa yang sudah mereka sumbangkan untuk Indonesia. Ada baiknya juga ditanyakan kepada peneliti Indonesia yang bekerja, atau pernah bekerja sama, atau dibantu Namru. Jangan lupa, Namru adalah lembaga penelitian, bukan penindakan. Jadi, jika saat KLB Demam Berdarah, yang ditanyakan kepada Namru adalah sumbangan apa yang mereka berikan kepada Depkes dalam mendeteksi atau mengantisipasinya. Sementara penindakan atau pencegahan KLB menjadi tanggung jawab Depkes. Jangan sampai ucapan pejabat tinggi itu bak menepuk air di dulang tepercik muka sendiri. Sebelum mengambil keputusan tentang Namru, ada baiknya dibuat neraca plus- minus bagi dunia kesehatan dan kedokteran Indonesia tanpa diselimuti kebencian atau memanfaatkan demi popularitas. Kebencian terhadap AS, terutama pemerintahan di bawah Bush, dapat dipahami. Namun, kebencian jangan berlebihan karena bertentangan dengan ajaran agama.

Kartono Mohamad Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia

Tidak ada komentar: