Selasa, 06 Mei 2008

Revitalisasi dan Reorientasi Penelitian Indonesia - Republika Online 3 Mei 2008

Oleh : Aris Solikhah
Alumni Institut Pertanian Bogor

Pro dan kontra keberadaan Naval Medical Research Unit No-2 (Namru-2) di Indonesia patut menjadi cermin dunia penelitian Indonesia. Sudah seharusnya penelitian strategis dikelola peneliti dalam negeri. Penelitian memegang peranan penting dalam pengembangan ilmu dan teknologi. Penelitian juga menjadi jalan keluar masalah.

Perhatian pemerintah terhadap penelitian dan pendidikan menjadi ukuran kemajuan serta daya saing suatu bangsa. Pertumbuhan ekonomi Cina yang luar biasa dalam 10 tahun terakhir ternyata buah dari reformasi pendidikan yang dilakukan pemerintah pada awal 1950-an.

Pemerintah Cina tak segan-segan mengalokasikan dana pendidikan yang cukup besar, sekitar tiga persen dari gross domestic product (GNP) atau 300 miliar rimimbi untuk pengembangan riset di tiap universitas. Di Singapura anggaran penelitian dua persen dari GDP.

Tidak satu pun negara maju saat ini yang memiliki belanja nasional untuk penelitian dan pengembangan di bawah tiga persen. Tertinggi di dunia adalah Norwegia, yaitu 4,3-4,5 persen.

Di Indonesia dengan alasan menekan biaya pengeluaran negara akibat defisit berjalan, pada 2008 ini pemerintah memangkas anggaran seluruh instansi sebesar 15 persen. Alih-alih menambah anggaran dana penelitian, pemerintah malah menurunkan menjadi 0,03 persen GDP.

Anggaran itu pun yang harus dibagi pada sembilan lembaga pemerintah nondepartemen di lingkungan Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KNRT), yaitu Bakosurtanal, Bapeten, Batan, BPPT, BSN, LAPAN, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), PP-IPTEK, dan Lembaga Eykman. Adapun Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menyiapkan anggaran Rp 323 miliar untuk membiayai hibah penelitian kompetisi dan fundamental bagi perguruan tinggi pada 2008.

Dana penelitian Diknas ini diperebutkan 317 perguruan tinggi. Terbatasnya dana, sarana prasarana, kurangnya penghargaan pada peneliti dan aplikasi hasil penelitian mendorong peneliti Indonesia hijrah ke negara lain.

Tidak sedikit peneliti Indonesia memilih berkarier di luar negeri. Selain itu, keterbatasan dana penelitian di berbagai bidang publik, seperti pertanian, kesehatan, pendidikan, industri, membuka peluang donatur dari lembaga asing atau swasta (perusahaan atau multinasional) menggandeng lembaga pemerintahan, penelitian, dan perguruan tinggi.

Tema dan orientasi penelitian harus mendapat restu donatur. Tema ini kadang tak memprioritaskan kepentingan publik, lebih mengutamakan kepentingan pasar dan tak jarang bersifat politis strategis.

Bila sangat bermanfaat bagi masyarakat, tak mudah diakses murah. Hasilnya, sering juga memunculkan masalah baru yang kontraproduktif, bukan memecahkan masalah masyarakat, tetapi memicu persoalan baru dan menimbulkan keresahan. Ini terjadi karena tidak adanya orientasi dan prioritas penelitian yang sangat dibutuhkan masyarakat.

Para donatur mendapatkan hasilnya dengan mudah dari pelaporan penelitian. Donatur mustahil memberikan dana percuma tanpa motif atau keuntungan. Lembaga profit umumnya mematok slogan tak ada makan siang gratis .

Bisa pula perusahaan atau lembaga konsultan paten menggali ide-ide kreatif penelitian melalui berbagai lomba inovasi, tawaran dana penelitian skala mikro kepada masyarakat umum. Hasil penelitian prematur itu dilaporkan ke pihak penyumbang dana. Selanjutnya, mereka memodifikasi metode atau komoditasnya dan mengklaim hasil penelitian tersebut sebagai temuannya dan mematenkannya.

Sebuah perusahaan kemungkinan besar mengomersialkannya dalam bentuk massal, lalu dijual kembali ke publik. Sebenarnya tak masalah lembaga swasta melakukan ini dengan maksud filantropis semata, bukan untuk komersial.

Hal ini pernah menimpa petani sederhana di Purworejo. Penelitiannya ditawar sebuah perusahaan Rp 1 miliar. Petani dihadapkan pada kegamangan.

Satu sisi dia membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Tapi, di sisi lain penghargaan pemerintah kurang terhadap hasil penelitian. Apalagi hasil penelitian dari orang atau lembaga yang dianggap tidak memenuhi persyaratan peneliti berdasarkan UU No 29 Tahun 2001 tentang Perlindungan Varietas Tanaman.

Revitalisasi dan reorientasi
Untuk menggiatkan penelitian dalam negeri, perlu revitalisasi dan reorientasi penelitian. Pengembangan penelitian lebih diorientasikan pada penyelesaian masalah vital masyarakat, bukan komersial atau kepuasan intelektual.

Pemerintah hendaknya melakukan pemetaan skala prioritas masalah. Setelah itu, pemerintah membagi tugas penelitian berdasarkan tema masing-masing kompetensi lembaga penelitian, perguruan tinggi, LSM, dan swasta nonprofit. Penelitian terkait kebutuhan pokok, yakni pangan, papan, sandang, dan kesehatan lebih diprioritaskan. Tapi, tetap tak mengesampingkan penelitian yang mendukung kekuatan militer dan stabilitas energi dalam negeri.

Sebisa mungkin pemerintah menghindari kerja sama strategis dengan perusahaan atau asing. Ini demi melindungi sumber daya alam, keanekaragaman hayati, dan kekayaan intelektual yang strategis, di samping menjaga agar hasil penelitian tidak disalahgunakan untuk kepentingan politis yang merugikan masyarakat atau mengancam kedaulatan bangsa.

Tukar-menukar informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan hasil penelitian antarnegara bisa dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat strategis ideologis dan kedaulatan negara. Dalam rangka menuju kemandirian bangsa, penghargaan peneliti dalam negeri ditingkatkan.

Hasil karya peneliti dihargai dengan nominal tinggi. Ini mendorong peneliti agar giat meneliti sekaligus menahan mereka berpaling ke luar negeri.

Patut disadari, peneliti adalah aset negara yang vital. Kalau perlu kita bisa mengadopsi penghargaan Khalifah Umar bin Khattab dalam menghargai para peneliti, yakni memberikan emas seberat buku yang dibuat peneliti. Atau membuat ketentuan setara dengan penghargaan tersebut untuk setiap kekayaan intelektual warganya.

Penyebarluasan, sosialisasi kekayaan intelektual dilakukan sepenuhnya oleh negara. Masyarakat umum boleh mengakses ilmu, informasi, mencontek teknologi terbaru, bahkan mengembangkan dari penelitian yang sudah ada, tanpa takut dihukum. Mereka boleh memfotokopi buku, membajak hasil karya penelitian, tetapi tak boleh mengklaim temuan orang lain menjadi miliknya.

Untuk melindungi keanekaragaman varietas lokal, pemerintah bisa membangun bank plasma nutfah untuk masing-masing komoditas. Diharapkan dari kebijakan ini, kemandirian dan kebangkitan bangsa tercapai. (republika online : 3/05/2008)

Tanggapan Mengenai Namru-2

Beberapa tanggapan dari orang-orang yang berpikiran sehat dan maju mengenai Namru-2 :

Forum Pembaca Kompas

Forum Kaskus


Kamis, 01 Mei 2008

Heboh Soal Namru - Kompas, 29 April 2008

oleh: Kartono Mohamad

Sejak Perang Dunia I, terutama setelah Perang Dunia II, garis pertahanan Amerika Serikat tidak berada di wilayahnya sendiri, tetapi jauh dari daratan AS. Dengan demikian, musuh tidak akan dapat menjamah daratan AS. Caranya dengan membangun pangkalan-pangkalan militer dan menempatkan kekuatan militernya di wilayah-wilayah negara lain, terutama kekuatan laut dan marinir. Maka, dikenal ada Armada I (daerah Panama dulu), Armada VI (di Timur Tengah), dan Armada VII di Asia Pasifik. Karena itu, mars Marinir AS diawali dengan kalimat ”From the hall of Montezuma, to the shore of Tripoli”.

Membawa risiko
Penempatan kekuatan militer di negara-negara lain, terutama daerah tropis, membawa risiko tersendiri. Mereka akan terpapar dengan berbagai penyakit yang tidak ada di AS, yang mungkin dibawa pulang dan menyebar di AS. Untuk itu, mereka mendirikan pusat- pusat penelitian kedokteran di wilayah-wilayah itu, diberi nama Naval Medical Research Unit (Namru). Kalau tidak salah, pada awalnya ada tiga Namru. Tetapi, kini tinggal dua, yaitu Namru 1, berkedudukan di Cairo untuk mempelajari berbagai penyakit di wilayah Afrika dan Timur Tengah, dan Namru 2 terletak di Jakarta sebagai pusat penelitian mereka mencakup wilayah Indonesia, Filipina, Malaysia, Vietnam, Thailand, Kamboja, Laos, bahkan mungkin sampai Sri Lanka atau Nepal. Dalam panduan (manual) untuk perwira medis
AL-AS (US Navy Medical Officer) ada bab tentang medical intelligence. Kata intelijen memberi konotasi mata-mata. Namun, panduan itu mengatakan, para perwira kesehatan AL harus mengenali berbagai penyakit di wilayah pasukan ditempatkan. Data-data itulah yang dikumpulkan oleh Namru. Jadi, tidak ada kaitannya dengan spionase atau mata-mata.

Naif
Yang mempunyai unit penelitian kesehatan di militer bukan hanya AS. Singapura mempunyai Defence Medical Research Unit, yang melakukan penelitian berbagai penyakit yang dapat ”menyerang” penduduk Singapura serta menyusun strategi penanggulangannya jika penyakit semacam itu masuk ke Singapura. TNI juga mempunyai lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) yang di dalamnya ada unit penelitian kesehatan. Dulu litbang kesehatan TNI AL (dulu ALRI) melakukan penelitian tentang efek udara tertutup di kapal selam bagi kesehatan awak kapal serta mencari suhu optimal untuk bekerja di kapal selam. Atas keadaan itu, ungkapan Menkes Siti Fadilah yang mengatakan, ”penelitian kesehatan, kok, di bawah militer” terasa naif. Sebagai peneliti, ia seharusnya memahami, militer pun boleh melakukan penelitian di bidang kesehatan sesuai dengan kepentingan mereka. Mengingat Namru merupakan bagian AL AS, dulu mitra kerjanya yang terdekat adalah TNI AL. Penelitian yang dilakukan dalam kerja sama dengan TNI antara lain penelitian malaria di Papua yang bukan hanya dengan TNI AL (Lantamal V), melainkan juga dengan TNI AD, pada awal tahun 1990-an. Dari penelitian itu diketahui seberapa besar parasit malaria di Papua yang sudah kebal terhadap obat-obat antimalaria yang konvensional. Kalau tidak salah, hasil penelitian ini juga dilakukan bersama Litbangkes dan P2MPLP Depkes yang menghasilkan perubahan kebijakan obat antimalaria Depkes dan diagnosis cepat untuk malaria (Rapid Test). Maka, juga amat naif jika dikatakan, Namru 2 tidak bekerja sama dengan lembaga Pemerintah RI. Yang juga disayangkan adalah mengapa para pejabat Depkes yang terlibat kegiatan Namru, seperti Litbangkes dan P2MPLP, tak memberi masukan kepada Menkes sehingga beliau tidak mengambil kesimpulan terlalu cepat. Sebab, banyak kegiatan Namru lainnya yang dilakukan bersama Depkes, selain dengan berbagai perguruan tinggi.

Spionase
Cerita tentang spionase ini menarik dan penuh thrill. Bahwa Namru bisa dijadikan tameng kegiatan spionase, bisa-bisa saja. Yang aneh adalah beberapa pejabat yang dulu berkuasa di bidang intelijen baru sekarang melemparkan tuduhan atau dugaan, padahal Namru 2 sudah lebih dari 20 tahun ada di Indonesia. Menjadi pertanyaan mengapa saat mereka menjabat tidak melakukan tindakan jika memang menemukan bukti bahwa Namru 2 melakukan kegiatan spionase. Kegiatan spionase negara asing terhadap tuan rumah bukan hal baru dan dilakukan melalui berbagai cara. Tidak hanya dengan menggunakan lembaga resmi. Jepang dulu menggunakan tukang potret, penjual mainan, dan pedagang kecil untuk memata-matai Belanda di Indonesia. Bahkan, kini menggunakan teknologi canggih, seperti satelit dan lainnya. Bukan tidak mungkin Israel mempunyai spion di Indonesia. Pejabat intelijen Indonesia tentu mafhum dengan berbagai cara spionase itu. Menjadi tugas lembaga kontra spionase Indonesia untuk melakukan tindakan jika diketahui ada spion asing memata-matai Indonesia. Bukan hanya berbicara setelah lepas dari jabatan itu. Mungkin ada baiknya, secara terbuka para pejabat tinggi negara berkomunikasi dengan Namru 2, menanyakan hasil penelitiannya, apa yang sudah mereka sumbangkan untuk Indonesia. Ada baiknya juga ditanyakan kepada peneliti Indonesia yang bekerja, atau pernah bekerja sama, atau dibantu Namru. Jangan lupa, Namru adalah lembaga penelitian, bukan penindakan. Jadi, jika saat KLB Demam Berdarah, yang ditanyakan kepada Namru adalah sumbangan apa yang mereka berikan kepada Depkes dalam mendeteksi atau mengantisipasinya. Sementara penindakan atau pencegahan KLB menjadi tanggung jawab Depkes. Jangan sampai ucapan pejabat tinggi itu bak menepuk air di dulang tepercik muka sendiri. Sebelum mengambil keputusan tentang Namru, ada baiknya dibuat neraca plus- minus bagi dunia kesehatan dan kedokteran Indonesia tanpa diselimuti kebencian atau memanfaatkan demi popularitas. Kebencian terhadap AS, terutama pemerintahan di bawah Bush, dapat dipahami. Namun, kebencian jangan berlebihan karena bertentangan dengan ajaran agama.

Kartono Mohamad Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia

Laboratorium Namru-2

Namru-2? Mendengarnya pun baru saat ini, ketika kalangan media cetak dan elektronik ramai membicarakan laboratorium milik pemerintah Amerika Serikat (AS) tersebut. Berbagai pro dan kontra mengenai keberadaan laboratorium yang ditengarai misterius ini masih berlangsung. Namun dari pengamatan di berbagai media, sepertinya lebih banyak yang mencap laboratorium ini sebagai perpanjangan tangan intelijen pemerintah AS. Benarkah demikian? Terlepas dari semua itu, bijak rasanya apabila kita tidak berprasangka dulu sebelum mendapatkan paparan yang berimbang. Karena agak sulit bagi orang awam yang tidak memahami hal seperti ini apabila tidak disertai wawasan mengenai dunia kesehatan, terutama bidang penelitiannya.